Widya Sancaya #5 “Tata Kelola LPD Perspektif Adat & Hukum Pidana”

LPPM UNHI Denpasar bekerjasama dengan Pusat Kajian Desa Adat sebagai pelaksana mengelar diskusi publik Widya Sancaya #05 dengan topik “Tata Kelola LPD Perspektif Adat & Hukum Adat” hari ini Selasa, 19 Juli 2022. Acara yang dihelat secara hybrid tersebut menghadirkan para narasumber yakni IGN Alit Kesuma Kelakan,ST.,M.Si.,anggota DPR RI Komisi VIII, Prof Dr.I Wayan Suartana,S.E.,Ak.,M.Si.CA, Guru Besar FEB Universitas Udayana, I Made Agus Mahendra Iswara,S.H.,M.H, Kasubsi Penyidikan Kejaksaan Negeri Denpasar. Acara dibuka oleh Rektor UNHI yang diwakili oleh Wakil Rektor II, Dr.I Gede Putu Kawiana,S.E.,M.M. Ketua LPPM Dr.Ni Made Novia Indriani,S.T.,M.T dalam laporannya memaparkan program Widya Sancaya #5 kali ini dipercayakan kepada Pusat Kajian Desa Adat UNHI dengan mengangkat topik tentang LPD. Menurut Ketua LPPM ini, isu ini diangkat untuk merespon dinamika yang saat ini terjadi di tengah masyarakat Bali.

Rektor UNHI dalam sambutannya yang disampaikan oleh Wakil Rektor II Dr. I Gede Putu Kawiana, S.E.,M.M menyampaikan apresiasi-nya terhadap upaya rutin yang dilakukan LPPM UNHI dalam Widya Sancaya yang kali ini memasuki edisi ke-5. Wakil Rektor II UNHI mengharapkan output acara penting ini mampu di-implementasikan secara nyata dalam wujud Tri Dharma yang aplikatif sesuai konteks dinamika LPD di Bali.

Dalam sesi diskusi yang di moderatori oleh Koordinator Pusat Kajian Desa Adat UNHI Denpasar I Made Dwija Suastana, S.H.,M.H ini menghadirkan tiga narasumber diawali dengan pemaparan IGN Alit Kesuma Kelakan. Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini menyoroti tentang peran LPD dalam upaya penguatan usaha mikro dan daya tahan ekonomi kerakyatan. Sesuai data yang dilansir Alke –panggilan akrabnya, per Maret 2022 tercatat ada sekitar 1.493 LPD di seluruh Bali dengan omzet sekitar 23, 2 triliyun. Hal ini menurutnya merupakan kekuatan serta potensi yang mesti dikelola dengan baik. LPD yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa, Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Lembaga Perkreditan Desa, serta Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Di Bali implementasinya harus ditingkatkan baik kapasitas, kapabilitas SDM serta administrasi-nya. Tak kalah pentingnya menurut pentolan aktivis GMNI ini, LPD harus ber-kolaborasi dengan dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.
Prof. Dr. I Wayan Suartana, S.E.,Ak.M.Si.,memaparkan hal yang cukup menarik. Akademisi Universitas Udayana ini mengusulkan dalam penguatan lembaga keuangan desa adat ini agar dibuatkan Perda khusus tentang kebijakan Akuntasi LPD agar tata kelola LPD lebih akuntabel. Bahkan turunan dari kebijakan tersebut nantinya dapat berupa Perarem LPD Desa Adat Berbasis Resiko. Perda ini diharapkan lebih memperjelas bahwa LPD itu adalah entitas yang seratus persen dimiliki oleh Desa Adat. Di satu sisi menurut Kelian Sabha Desa Adat Pecatu ini, sebaik apapun sistem harus didukung oleh kesiapan sumber daya manusia yang berkecimpung di LPD. Wayan Suartana meyakini LPD maju karena didukung oleh masyarakatnya. Lebih lanjut disampaikan Prof. Suartana dalam materinya meski LPD mengalami masa sulit saat pandemi sekarang tetapi tetap menjadi salah satu penyangga kehidupan ekonomi di desa adat supaya terhindar dari kesulitan yang lebih parah. Di sisi lain, LPD tidak bisa melakukan restrukturisasi secara regulasi pola manajemen aset LPD, pengelolaan dana, pertanggungjawaban LPD sudah jelas diatur oleh Perda. Menurutnya, LPD kesulitan dalam mengelola aset karena faktor sempitnya ruang lingkup meskipun dimungkinkan untuk melakukan kerjasama antar LPD.

Narasumber ketiga, I Made Agus Mahendra Iswara, S.H.,M.H selaku Kasubsi Penyidikan Kejaksaan Negeri Denpasar membawakan materi tentang Penyimpangan Keuangan LPD dari Perspektif Hukum Pidana (Tindak Pidana Korupsi). Jaksa yang mengawali karier-nya di Kejaksaan Negeri Flores Timur ini dalam pemaparan awal mengutip UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang PTPK memberikan definisi Tindak Pidana Korupsi sebagai “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Menurut dia, sebagai penegak hukum pihaknya bekerja berpegang teguh pada Undang-Undang.

Menurutnya, dalam kasus yang melibatkan oknum di LPD, entry point-nya adalah adanya hal yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam Perda Nomor 3 tahun 2017 yang mengatur tentang LPD menurut Jaksa kelahiran Denpasar ini, frasa “merugikan negara” memang bersifat debatable namun demikian apabila merujuk pada Penjelasan Pasal 9 ayat (3) tentang permodalan LPD huruf a menerangkan “Yang dimaksud dengan modal disetor adalah modal dalam bentuk uang yang bersumber dari Desa dan Pemerintah Daerah” Penjelasan Pasal 9 ayat (3) huruf b menerangkan “Yang dimaksud dengan modal donasi adalah modal dalam bentuk barang yang bersumber dari perseorangan, Desa dan/atau Pemerintah Daerah”. Demikian juga kalau mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda Prov Bali No. 3 Tahun 2017 Tentang LPD menerangkan “Desa dapat mengajukan permohonan modal kepada Gubernur pada saat pendirian LPD”. Pasal 33 ayat (2) Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda Prov Bali No. 3 Tahun 2017 Tentang LPD, menerangkan “Gubernur dapat memfasilitasi permohonan modal LPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Pasal 33 ayat (3) Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda Prov Bali No. 3 Tahun 2017 Tentang LPD menerangkan “Pencairan permohonan modal LPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.”
Berdasarkan beberapa pasal dalam Perda Nomor 3 tahun 2017 tersebut ada unsur negara (pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur). Di sisi lain Definisi Keuangan Negara menurut Agus Mahendra mengutip Penjelasan Umum UU Tindak Pidana Korupsi, “Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : (a) ………. (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan bertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Ketika menyinggung tentang apakah LPD termasuk lembaga usaha mikro (LUM), Agus Mahendra menyatakan kalau dilihat dari sisi terbentuk atau proses pendiriannya, LPD dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur sedangkan lembaga usaha mikro berbentuk badan hukum (Koperasi / PT), Kalau PT min 60 % milik Pemerintah. Namun demikian dia menegaskan menjadikan alasan LPD tidak masuk pada LUM tidaklah mereduksionalisasi / membantah modal dari LPD bersumber dari keuangan negara/keuangan daerah, pungkas Agus Mahendra Iswara.
Acara yang dikemas secara hybrid tersebut berlangsung hangat karena para peserta memberikan tanggapan yang cukup menarik. Wayan Jondra yang bergabung secara daring menyatakan kesetujuannya terhadap dalil hukum yang disampaikan oleh narasumber Agus Mahendra Iswara, namun demikian menurutnya, LPD patut diperkuat dengan kesiapan sumber daya baik SDM maupun software dan hard ware-nya. Keberlanjutan LPD sangat penting dalam menjaga roda perekonomian masyarakat Bali.
Seminar yang diprakarsai oleh Pusat Kajian Desa Adat UNHI Denpasar ini diakhiri dengan penanaman pohon perindang oleh para narasumber di halaman kampus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *